Lebih-lebih di sekolah dasar, guru memiliki peran yang amat penting dalam proses pendidikan bagi para siswa di usia yang amat menentukan bagi pendewasaan mereka.
Meski banyak pihak mengakui peran penting guru dalam proses pendidikan, guru kita hingga saat ini belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang layak dilihat dari sisi kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme.
Banyak program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu paling tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan berbasis sekolah, contextual teaching-learning (CTL), evaluasi belajar model portofolio, dan yang terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Semua itu kurang atau bahkan tidak mengikutsertakan guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu, padahal semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini.
Lantas, bagiamana peran guru kita dalam pembaharuan dan inovasi pendidikan itu? Inilah persoalannya.
Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru kita didorong untuk memiliki profesionalisme yang lebih tinggi. Hal itu juga diikuti kesejahteraan yang lebih memadai. Kenyataan tidaklah seperti itu. Banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja guru.
Mengapa beban? Karena guru belum atau tidak mengerti secara sempurna terhadap berbagai inovasi pendidikan itu. Akibatnya, mereka berada dalam ketidakmenentuan profesi ketika harus melakukan program-program inovatif di tempat kerja masing-masing.
Penggagas pembaharuan pendidikan memiliki asumsi, guru dengan serta merta dapat melakukan apa saja yang menjadi program pembaharuan yang dicanangkan pemerintah. Asumsi inilah yang tidak benar. Sebab, kenyataannya guru harus mendapatkan retraining yang memadai dan tersistem untuk dapat melakukan berbagai pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Karena itu, ke depan pemerintah perlu melihat kemampuan riil yang dimiliki guru untuk melakukan atau mengadopsi setiap inovasi di bidang pendidikan.
Profesionalisme
Saat ini kita hidup pada era knowledge based economy. Artinya sistem ekonomi secara global berjalan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampaknya, negara yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan yang kuat akan menguasai ekonomi.
Mengapa demikian? Karena dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebuah bangsa akan memiliki daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain. Jika sebuah bangsa memiliki daya saing yang tinggi, ia dapat dipastikan bisa menguasai dunia secara ekonomi. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea, Singapura, dan Australia memiliki perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian kita. Sebab, negara-negara tersebut menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lalu apa implikasinya terhadap pendidikan, terutama guru, di negeri ini? Implikasinya, kita harus melakukan profesionalisme pada pekerjaan guru. Dengan guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi, pendidikan akan bisa ditingkatkan kualitasnya. Kualitas pendidikan yang baik pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk bisa menjamin terjadinya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa ini mau tidak mau ke depan harus meningkatkan profesionalisme guru. Jika ini harus dilakukan, kita harus memperhatikan syarat-syarat terjadinya profesionalisme yang perlu dimiliki para guru kita. Antara lain, menurut Houle, harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, berdasarkan atas kompetensi in dividual (bukan atas dasar KKN), memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, dan ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antarsejawat. Selain itu, ada kesadaran profesional yang tinggi, memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik), memiliki sistem sanksi profesi, ada militansi individual, dan memiliki organisasi profesi.
Dari syarat-syarat yang harus dimiliki guru agar mereka termasuk dalam kategori profesional tersebut, tentu perlu ada sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan berkelanjutan. Pendek kata, perlu ada in service training yang baik bagi para guru kita.
Di Singapura, para guru selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan oleh guru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap tahun mereka mendapatkan hak untuk memperoleh in service training selama 33 jam. Itulah sebabnya guru di sana selalu bisa dipertahankan profesionalismenya. Dengan begitu, mutu pendidikan di "negara kota" itu menduduki peringkat kedua setelah Korea Selatan di antara 12 negara di Asia.
Pengembangan profesionalisme guru-guru di Indonesia ternyata masih jauh ketinggalan dari yang dilakukan di Singapura. Akibatnya, peringkat kualitas pendidikan kita berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Desentralisasi
Pada era desentralisasi seperti saat ini, guru semestinya bisa lebih mendapatkan pemberdayaan baik dalam arti profesi maupun kesejahteraan. Mengapa begitu? Karena saat ini pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme dan kesejahteraan guru tentu bisa langsung dipantau oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dalam aspek profesionalisme, pemda bisa melakukan tukar-menukar guru dari satu daerah dengan daerah lain agar terjadi transfer nilai-nilai positif yang diperoleh akibat perbedaan budaya sekolah.
Dengan adanya program tukar-menukar itu, wawasan dan pengetahuan guru tentang berbagai kuriikulum muatan lokal akan semakin bertambah, sehingga akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman guru. Kalau hal ini dapat terjadi, proses profesionalisme akan bisa terdorong.
Meskipun demikian, kendala yang dihadapi guru selama lima tahun terakhir ini ialah tertutupnya mobilitas mereka dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini terjadi karena dengan era desentralisasi, guru tertutup untuk melakukan mobilitas horizontal akibat keterkaitan mereka dengan gaji yang telah teranggarkan dalam dana anggaran umum (DAU) daerah masing-masing.
Kendala ini sebenarnya sekarang bisa diatasi manakala pemda mau menerapkan Pasal 41 Undang-undang No 20/ 2003, yang mengatakan, "Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah." Jika pemda berani menerapkan pasal ini, berarti pemda yang bersangkutan secara non-monetary telah ikut serta memperhatikan kesejahteraan guru.
Guru yang baik perlu mendapat insentif untuk pindah ke daerah yang mereka kehendaki, sehingga mereka perlu mendapatkan kesempatan untuk melakukan mobilitas secara horizontal.
Perpindahan guru dari satu daerah ke daerah yang lain juga akan mendorong perbaikan pendidikan secara tidak langsung akibat dari interaksi antaretnis dalam proses pembelajaran di sekolah. Jika guru selamanya tidak bisa melakukan mobilitas sosial, justru akan terjadi inbreeding secara etnis. Selamanya anak-anak Jawa akan diajar oleh guru dari etnis Jawa, begitu pula etnis-etnis lain.
Keadaan ini tidak ikut mendorong terjadinya pendidikan multikultural yang baik. Tegaknya NKRI memerlukan pemahaman terhadap entitas multikultural di negeri ini. Tukar-menukar dan perpindahan guru lintas daerah akan mendorong terjadinya pendidikan multikultural secara tidak langsung.
Dengan terjadinya mobilitas horizontal para guru secara nasional, para siswa akan cepat belajar memahami budaya etnis lain langsung dari para guru mereka. Ini semua bisa terjadi jika para bupati dan wali kota berani menerapkan Pasal 41 UU No 20/2003.
SUMBER RUJUKAN:
Modul Pengantar Pendidikan (MKDK 4001), karangan Dinn Wahyudin, dkk. Diterbitkan oleh Penerbit Universitas Terbuka.
Artikel “Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu” ditulis oleh Prof. Suyanto PhD (UNY),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar